Pagi ini suasana
dingin sekali akibat hujan semalam yang berlanjut hingga waktu subuh tadi. Matahari
masih belum tampak karena tertutup awan mendung. Daffa mengintip dari balik
tirai jendela kamarnya dan tampak genangan air masih tersisa di halaman rumah
paman. Titik-titik air juga masih terlihat jelas diujung daun pepohonan seperti
enggan jatuh akibat gravitasi bumi. Daffa beranjak dari tempat tidur dan
merapikannya kemudian menuju toilet untuk mencuci muka.
“Astaga sudah
jam 7, bakal telat ke sekolah ini” Daffa bergumam dalam hati
Daffa
terburu-buru untuk mandi serta mengeluarkan sepatu dan seragam putih abu-abu
dari lemarinya, bunyi lemari dan hempasan sepatu pun memecah keheningan pagi
itu. Tak lupa ia berpamitan kepada paman dan menutup rapat pintu rumahnya.
“Assalamualaikum
paman, Daffa berangkat sekolah dulu”
“Waalaikumsalam
Daffa, cepatlah jangan sampai terlambat”
Rumah
paman berada di Samarinda Seberang. Perjalanan dari rumah paman sampai ke depan
gang lumayan cukup jauh, Daffa
berlari-lari kecil sembari melihat jam di layar handphone-nya dan
berharap agar tidak terlambat untuk sampai ke sekolah. Sesampainya di depan
gang, ia berjalan kaki menuju Jembatan Mahakam yang tidak terlalu jauh dari
depan gang rumah paman, Dilewatinya jalur pejalan kaki yang terletak di kanan
badan jembatan, terlihat lalu-lintas di jembatan sudah mulai padat merayap,
tampak pula ponton yang berlalu-lalang mengangkut kekayaan alam berupa batubara
sedang melintas di Sungai Mahakam yang membelah kota kelahiran Daffa yakni
Samarinda.
Sesampainya di
ujung jembatan, Daffa menyeberang menuju Jalan Slamet Riyadi. angkutan kota
trayek A yang berwarna hijau berhenti tepat di depannya tanpa diberikan isyarat
untuk berhenti seolah sang sopir angkot sudah dapat membaca pikiran Daffa
karena ingin menumpangi angkutan kota yang dikendarainya.
“Bhayangkara”
“Yo,
tapi mutar dulu lewat Kampung Jawa”
Daffa
menganggukan kepala menyetujui ucapan pak sopir tersebut, kepalanya ia tundukkan
untuk membawa badannya masuk mencari tempat duduk disamping jendela. Dibukanya
jendela tersebut dan perlahan angkutan kota trayek A yang ditumpanginya mulai
berjalan secara pelan.
Matahari
sudah mulai menampakkan sinarnya walau masih tertutupi oleh awan putih,
sinarnya tampak menyinari sisa-sisa embun yang masih menempel di kaca angkot
itu.
Tak
berapa lama, tiba-tiba angkot yang ditumpanginya berhenti di depan Masjid
Islamic Centre tampak gadis remaja berseragam SMA yang berkacamata dan berambut sebahu memberi
isyarat kepada pak sopir untuk memberhentikan angkot ini.
“Bhayangkara
pak”
“Mutar
dulu mbak lewat Kampung Jawa”
“Nggak
apa, pak”
Gadis
itu langsung menaiki angkot ini sambil menggendong tas ransel dan memegang tas
laptop miliknya, Daffa mengernyitkan dahi dan tersadar ternyata gadis itu
adalah adik kelasnya di SMA.
Waktu
berjalan begitu cepat, hiruk-pikuk dan kesibukan aktivitas warga ibukota
provinsi Kalimantan Timur ini mulai berkembang pesat seperti kota-kota besar
lain. Kemajuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi serta pertambahan jumlah
transportasi pribadi juga mulai tak terelakkan di kota ini. Dan angkot yang Daffa tumpangi terjebak
kemacetan kecil di daerah Kampung Jawa akibat ukuran badan jalan yang sempit
sedangkan volume kendaraan yang sangat padat.
Walaupun
kemacetan tidak terlalu parah tapi hal itu cukup mengesalkan hati Daffa saat
berangkat ke sekolah. Terlihat pula wajah adik kelas itu yang mulai tampak
gelisah sambil menatap jam tangan di lengannya.
Akhirnya
setelah kekesalan akibat kemacetan itu berlalu, angkot yang ditumpangi Daffa
dan gadis itu mulai mendekati sekolah
“Stoooop”
ujar mereka berdua serempak
Daffa
dan gadis itu saling memandang dan tersenyum kecil karena kejadian itu, Ia
persilakan adik kelasnya untuk turun lebih dulu lalu ia menyusul di belakangnya
sambil membayar angkot yang ditumpanginya tadi. Daffa tergopoh-gopoh berlari
ketika gerbang sekolah sudah mulai
hampir dikunci, diajaknya adik kelasnya untuk ikut berlari agar tidak terlalu
telat saat memasuki gerbang sekolah
“Ayo,
cepat lari nanti gerbangnya keburu dikunci”
“Mmmhhh,
iya Kak”
Sesampainya
digerbang mereka berdua ditahan oleh Pak
Ari selaku waka kesiswaan karena kesalahan mereka yaitu terlambat ke sekolah.
Mereka dan teman-teman lain yang terlambat berbaris di barisan khusus siswa
yang terlambat sambil memberi penghormatan kepada bendera merah putih, setelah
itu mereka diperintahkan untuk memungut sampah-sampah yang berserakan di
halaman sekolah.
Jam menunjukkan
pukul 10.15 dentang bunyi bel waktu istirahat pertama telah berbunyi, segera Daffa
mengumpul lembar kertas ujian dan menyimpan buku serta alat-alat tulis yang
digunakan saat ulangan Biologi tadi. Kemudian Daffa beranjak menuju kantin dan
sesampainya disana ia memesan sepiring nasi goreng. Ketika menuju meja makan
kantin Daffa terkaget ternyata adik kelas yang ditemuinya tadi pagi ada
dihadapannya memberikan senyuman manis dan sapaan untuknya, Daffa pun membalas
sapaan tersebut dengan senang hati.
Saat Daffa mulai
menyuap sesendok nasi yang pertama seseorang menepuk pundaknya
“Hai, Daf kok
tumben makan nggak ngajak-ngajak?” ucap Rifan mengagetkan
“Daf, kamu
melamun?” tanya Rifan lagi
“Oh, Hai Rifan,
hmm maaf ya aku cuekin sesaat“
“Kamu kenapa? Aku
perhatikan kok kamu menatap adik kelas yang berkacamata itu terus ya? Hayo
ngaku deh”
“Mmmhh…. Nggak
kok”
“Sudahlah
mengaku saja Daffa, nggak ada yang perlu ditutupin kita kan sahabat, ayo dong
cerita”
“Kamu tahu nggak
dia kelas berapa?”
“Tenang bro,
nanti aku akan cari informasi tentang dia, secepatnya deh aku kasih tahu ke
kamu”
“Oke, makasih ya
Fan kamu memang sahabat yang paling memahami”
“Hahaha ya
begitulah sesama sahabat kan memang harus bisa memahami. Eh tapi beneran ya
kamu suka sama dia?”
“Entahlah, rasa
ini masih membingungkan”
Bel masuk telah
berbunyi, sepiring nasi goreng yang Daffa pesan tadi masih belum habis disantap
karena Rifan mengajaknya mengobrol sesaat. Ia teguk segelas es teh yang masih
tersisa di meja kantin dan segera membayar nasi goreng yang ia pesan tadi.
Keesokan harinya,
matahari bersinar terang dan cerah. Daffa berangkat sekolah seperti biasa dan
lebih awal dari kemarin, di balik jendela angkot trayek A dia cari
keberadaannya di depan Masjid Islamic Center tempat pertemuan pertama ia
bertemu dengan adik kelas yang manis itu kemarin, tapi yang ditunggu dan
dinantinya tak kunjung muncul terlihat. Daffa menghela nafas dan masih berharap
bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak terduga.
“Masihkah aku
dapat menatap wajahnya, mendengar suaranya, dan mengenalnya lebih dekat?” tanya
Daffa di dalam hati
Angkutan kota
berhenti tepat di depan sekolah, Daffa turun dan mengeluarkan selembar uang dua
ribu rupiah kepada pak sopir kemudian dia melangkah pasti menuju gerbang
sekolah, sesampainya di gerbang sekolah tak disangka adik kelas yang membuat Daffa
jatuh hati kemarin berjalan didepannya. Tampak dia hampir teburu-buru menuju
kelasnya dilantai 2 dan tanpa sengaja Daffa mengetahui namanya yang tertera jelas di papan
LJK saat dipegangnya, namanya Ayla Batrisya
Mata Daffa
memang masih memperhatikan Ayla dari kejauhan, saat ia memasuki gerbang sekolah
bersamanya, dan kedua bola mata Daffa belum bisa lepas memperhatikan Ayla dari
kejauhan sampai dia hilang dari pandangannya
Pada akhirnya Daffa
selalu diliputi rasa ingin tahu dan semakin memikirkan Ayla, Hati dan
pikirannya mulai sinkron dalam meyakini sebuah perasaan, perasaan yang dapat
membuatnya bahagia dan bangga ketika jatuh hati kepada Ayla. Tatkala rasa itu
menggebu-gebu Daffa memperbincangkannya kepada sahabatnya Rifan.
“Fan, kayaknya
aku jatuh hati deh sama Ayla”
“Hah, Ayla itu
siapa?”
“Yang kemarin
aku ceritakan itu loh, kamu ingat kan?”
“Oh, ya aku ingat,
namanya Ayla ya? Bagus loh”
“Iya Fan, aku
heran nih dan nggak tahu kenapa aku nggak bisa jauh dari dirinya, pokoknya aku
selalu ingin tahu keadaanya, mungkin aku suka sama dia”
“Deketin dong,
jangan cuma suka aja, tunjukkan kalau kamu memang benar-benar punya perasaan dan
sayang sama dia”
“Tapi aku masih
malu”
“Nggak perlu
malu kalau kamu pengen belajar bagaimana caranya menyayangi orang yang kamu
sukai dan kamu kagumi itu”
“Ya aku tahu
itu, tapi aku belum berpengalaman dan agak grogi”
“Daffa, yakin
dulu deh pada dirimu sendiri kamu pasti mampu, kamu harus optimis walaupun
memang semua tergantung pada kehendak Tuhan dan dirinya.”
Sepulang sekolah
Daffa tak langsung beranjak pulang, kewajiban untuk piket membersihkan kelas
dengan teman-temannya harus dikerjakannya dengan baik. Setelah ruang kelas
bersih Daffa mengambil tas nya keluar dari kelas. Di depan kelas Rifan
menghampiri Daffa
“Bro, besok
jogging yuk di Stadion Sempaja”
“Boleh juga,
tapi aku izin dulu sama pamanku”
“Oke deh, telpon
aja kalau jadi atau nggak”
“Sip”
Daffa keluar
dari gerbang sekolah dan menyeberang menuju Lapangan Pemuda yang berada persis
di depan SMA-nya. Lapangan itu terdiri dari 2 lapangan yaitu lapangan sepakbola
dan lapangan basket, di kala sore banyak remaja yang memanfaatkannya untuk
bermain bola atau berlatih bermain basket.
Dipinggir
lapangan tersebut tumbuh hamparan pohon Angsana yang sangat rindang, pohon tersebut
diperkirakan berusia puluhan tahun lebih, dibawahnya tampak juga jejeran tempat
duduk yang disediakan oleh Pemerintah Kota untuk bersantai menikmati sejuknya
udara di bawah pohon atau hanya memandang jalanan yang ramai dilalui kendaraan
yang lewat. Disamping lapangan basket tampak pula penjaja makanan dan minuman
yang banyak berjualan disana.
Daffa menuju
kesana, aroma daging burger yang sedang dibuat oleh penjaja makanan disana
tercium oleh indera penciumannya. Rasa lapar pun datang menghampirinya, membuat
ia ingin membeli burger tersebut
“Pak, beli
burgernya satu ya”
“Yang berapaan?”
“Yang 5000 pak”
Selada
dan timun ditaruh diatas daging burger, roti berbentuk lingkaran diangkat dari
penggorengan menutup olesan mayonais dan sambal sehingga burger siap untuk
dinikmati.
Daffa berjalan
menuju halte yang tak jauh dari area penjaja makanan yang dia kunjungi tadi
untuk menunggu angkot yang ingin ditumpanginya pulang. Halte itu berukuran
kecil dan hampir tidak berfungsi maksimal sebagaimana fungsi utamanya. Daffa duduk
sambil menikmati daging burger yang dibelinya, rasanya pedas, lidahnya terasa
gatal dan wajahnya tampak sedikit berkeringat akibat olesan sambal di burger
itu.
Tak disangka
Ayla datang menuju halte tersebut, Daffa terkaget dan hampir salah tingkah
ketika melihat Ayla berjalan ke arahnya, Ayla duduk di samping Daffa yang
berjarak sekitar 4 jengkal dari tubuhnya sambil melepas headset dari telinga
dan mencabut kabelnya dari iPod yang berada di saku seragamnya. Ayla melihat Daffa
dan tiba-tiba Ayla bertanya.
“Kak,
kok mukanya merah dan keringatan gitu?” ucap Ayla dengan nada penasaran
Daffa
semakin gugup mendengar suara Ayla yang didengarnya merdu dan menurutnya
mempunyai ciri khas itu, akan tetapi Daffa mencoba bersikap dingin.
Ditanggapinya pertanyaan Ayla dengan santai
“Ini nih akibat
makan burger, burgernya pedas banget makanya jadi keringatan gini” ucap Daffa santai
“Oh gitu, mau
minum nggak kak? Ini aku ada minuman siapa tahu kakak mau kan kakak lagi
kepedasan”
“Nggak usah,
kakak sudah terbiasa kok makan makanan pedas gini, kalau sampe keringatan kayak
gini ya biasalah”
“Oke deh, ya
sudah minumannya aku minum sendiri”
Daffa diam tanpa
kata, entahlah mengapa mungkin ada suatu rasa yang berbeda atau hanya kebetulan
saja. Kemudian Daffa memberanikan diri untuk memulai sebuah percakapan baru
“Ayla, kamu
nggak pulang? Naik angkot bareng yuk” tanya Daffa bersemangat
“Maaf, kak hari
ini aku dijemput, lain kali saja ya” jawab Ayla santai
“Kemarin, kok
kamu naik angkot?” tanya Daffa lagi dengan penasaran
“Kemarin kan aku
terlambat bangun jadinya papa ninggalin aku duluan ke kantor karena ada promosi
Sarung khas Samarinda terus mamaku sibuk ngurusin usaha Amplangnya. Jadi nggak
ada yang nganterin”
“Oh jadi orang
tua kamu punya usaha Amplang, wah enak tuh”
“Kak Daffa suka
ngemil Amplang ya? Kapan-kapan bisa kok datang ke toko mamaku buat ngeliatin
proses pembuatannya sambil nyicipin Amplang yang baru dibuat”
Belum sempat Daffa
menjawab penawaran Ayla tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan
halte
“Duluan ya kak,
aku sudah dijemput” ucap Ayla
“Hati-hati ya”
jawab Daffa pelan seakan tak mengikhlaskan Ayla dijemput pulang secepat ini.
Mobil itu segera
berjalan meninggalkan halte tempat Ayla dan Daffa mengobrol singkat, aroma
karbon monoksida masih tersisa di sekitar halte akibat buangan gas kimia dari
knalpot mobil itu.
Daffa terbayang
oleh materi ulangan Biologi kemarin dan berkata di dalam hati
“Semoga saja
pohon Angsana disekitar sini masih berfotosintesis dengan menyerap gas karbon
monoksida itu dan segera mengeluarkan gas oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup
sepertiku”
Daffa
memberhentikan angkot trayek A yang akan mengantarkannya ke Terminal Angkot
Pasar Pagi, lalu ditumpanginya angkot
trayek G1 yang berwarna merah tua yang mengantarkannya ke rumah paman di
Samarinda Seberang. Sesampainya di rumah Daffa minta izin kepada paman agar
diperbolehkan jogging bareng Rifan di Stadion Sempaja besok.
“Paman, besok Daffa
boleh nggak jogging bareng Rifan di Stadion Sempaja?” tanya Danera dengan penuh
pengharapan”
“Boleh, asalkan
ingat waktu. kan sebentar lagi kamu akan mengikuti ujian nasional jadi kamu
harus banyak belajar agar bisa mendapat nilai yang memuaskan” ucap Paman
“Makasih, paman”
Daffa mengambil
handphone BlackBerry dari saku celananya, dia cari nomor handphone Rifan dan
segera meneleponnya
“Fan, aku jadi
nih ikutan jogging. Kita janjian di depan pos satpam Stadion Sempaja ya”
“Hmm maaf Daf kita
nggak usah ke Stadion Sempaja ya soalnya agak jauh, aku takut terjebak
kemacetan. Rumahku kan di Sambutan, kamu juga tahu kan gimana suasana macetnya
di Pasar Sungai Dama. Setelah aku pikir-pikir sepertinya lebih baik kalau kita
jogging di Balaikota saja”
“Ya terserahmu
lah, aku ikut kamu aja”
“Oke, janjian di
samping TMP ya”
“Iya, aku tunggu”
Di samping Taman
Makam Pahlawan, Rifan memarkir motornya. Rifan berjalan kaki menuju Balaikota
yang tak jauh dari lokasi parkiran motornya. Hari minggu ini ternyata merupakan
car free day. Tampak beberapa orang
bersepeda di jalanan yang biasanya dipenuhi dengan kendaraan sambil menikmati
segarnya suasana di pagi hari. Pada saat menunggu Daffa yang akan datang, Rifan
sibuk mengencangkan ikatan tali sepatu dan melakukan pemanasan ringan. Tak
begitu lama akhirnya Daffa datang dan menghampirinya
“Lama nggak
bro?” tanya Daffa
“Nggak juga kok,
udah pemanasan belum?”tanya Rifan kembali
“Belum”
“Ya sudah
pemanasan dulu deh”
Kesejukan hari
Minggu pagi di Balaikota sangatlah menenangkan jiwa, hamparan pohon yang sangat
rindang serta angin yang berhembus sepoi-sepoi menyegarkan raga. Cahaya
matahari menyelinap dibalik daun-daun pohon yang rimbun menyinari jalan. Jalan Balaikota
ini dipenuhi kerumunan manusia dari kalangan usia yang ingin berolahraga. Daffa
dan Rifan mulai berlari-lari kecil mendaki tanjakan dan menuruni turunan di
Balaikota tersebut selama beberapa kali putaran.
Keringat mulai
mengucur di tubuh mereka, dengan nafas yang agak terengah-engah mereka sepakat
untuk duduk beristirahat di bawah rimbunnya pohon. Ketika mereka sedang
beristirahat sejenak ternyata Ayla juga sedang jogging di Balaikota. Daffa dengan
spontan berteriak menyapanya.
“Ayla!!!”
Dengan hampir
sedikit terkaget Ayla menoleh ke arah suara tersebut dan balik menyapa
“Eh Kak Daffa,
lagi jogging juga ya”
“Iya nih, kamu
sendirian aja?”
“Iya Kak, bareng
yuk joggingnya”
“Oke deh, Rifan
gabung juga yuk”
“Kak Rifan juga
boleh ikut kok”
Mereka bertiga
kembali berlari mengelilingi jalan Balaikota, kembali mendaki tanjakan dan
menuruni turunan jalan tersebut hingga jam menunjukkan pukul 10.00
“Bro, aku pulang
duluan ya. Soalnya udah hampir siang banget nih”
“Oke Fan, nggak
apa. Makasih sudah ngajakin jogging”
“Hati-hati ya
Kak Rifan” Ayla berucap
“Iya, Terima
kasih” Rifan membalas
Kerumunan
manusia yang tampak pada pagi hari tadi sudah hampir menghilang, mereka mulai
meninggalkan jalan Balaikota untuk pulang, para penjual makanan dan minuman
disekitarnya sudah berkemas memberesi barang dagangan yang mereka jual dari
pagi.
Matahari sudah
tampak sangat terang dan terasa menyengat kulit, Daffa mengajak Ayla untuk
pulang bersama dengan menumpangi angkot. Setelah Daffa mengatakan keinginannya,
ternyata papa Ayla menelepon Ayla dan ingin menjemput di tempat biasa seperti
saat menjemput Ayla ketika pulang sekolah. Kemudian mereka memberhentikan angkot
trayek C yang berwarna biru untuk menuju tempat yang diinginkan papa untuk
menjemput Ayla
“Lapangan
Pemuda” ucap Daffa kepada sopir angkot C
Angkot C yang
ditumpangi mereka mulai berjalan. Jarak antara Balaikota dan Lapangan Pemuda
sebenarnya tidak terlalu jauh, sehingga tidak sampai 5 menit mereka turun dari
angkot tersebut dan menuju Halte Lapangan Pemuda
“Makasih ya Kak
sudah menemani Ayla jogging hari ini” ujar Ayla sambil duduk di halte
“Mmmmmhh, iya.
Kakak juga makasih udah ditemani juga” sahut Daffa dengan memberikan senyuman
manis kepada Ayla
Ayla tertunduk,
tatapan matanya sayu seperti ada rasa sedih yang menghampiri dirinya secara
tiba-tiba
“Kamu kenapa
Ayla? Kok seperti sedih gitu, semangat dong!”
“Nggak apa kok
Kak”
“Serius nggak
apa? Kalau kamu bilang seperti itu sebenarnya pasti ada sesuatu yang mengganjal
di hatimu dan kamu males untuk menceritakannya”
“Loh kok Kak Daffa
tahu?”
“Sudah
pengalaman sih hahahaha. Ayo dong cerita, ada apa?”
“Ayla sedih aja,
soalnya bentar lagi kan Kak Daffa lulus dari SMA terus pasti lanjut kuliah
keluar kota. Nanti Ayla bakalan kangen sama Kak Daffa”
Daffa terdiam,
ada rasa yang tak biasa muncul menghampirinya. Entahlah ini nyata atau hanya
kebetulan saja.
“Kakak juga
pasti bakalan kangen sama kamu Ayla. kita memang baru beberapa minggu kenal
tapi kakak merasa bahwa kamu adalah adik kelas yang paling berkesan di hati
kakak” ungkap Daffa
“Maksud Kak Daffa?”
Tanya Ayla penasaran
“Ya begitulah”
Mata mereka
saling bertatapan tanpa berkedip sekalipun, ditariknya jemari Ayla dan
digenggamnya secara perlahan, kemudian senyum diantara mereka merekah mewarnai
rona wajah dua remaja yang sedang dilanda sebuah rasa, rasa yang tak dapat
terdefinisi oleh kata-kata dan hanya dapat dimengerti dengan sebuah perasaan.
Daffa memberanikan
diri untuk berkata sesuatu. Namun terlambat, bunyi klakson dari mobil papa Ayla
mengagetkan mereka. Genggaman tangan mereka dengan terpaksa terlepaskan, hanya
senyuman saja yang tampak pada bibir manis Ayla tanpa sepatah kata pamit ketika
pergi meninggalkan Daffa di halte tersebut. Ayla membuka pintu mobil tersebut dan
segera masuk kedalamnya, kemudian mobil berwarna hitam itu langsung tancap gas
pergi meninggalkan Daffa di Halte Lapangan Pemuda.
Rasa sedih
bercampur dengan rasa kesal. ingin marah tapi kepada siapa? Papa Ayla? Terlalu
lucu untuk harus marah dan terlalu berlebihan jika harus kecewa.
Daffa beranjak
meninggalkan halte, ketika ia ingin pulang untuk memberhentikan angkot tak
disangka Paman lewat dan berhenti dihadapannya
“Loh, Daffa kok
ada disini?
“Tadi nggak
sengaja singgah”
“Pulang sekarang
ya, Nih dipakai helmnya”
“Iya, Paman”
Panasnya terik
matahari di siang hari ini semakin lama semakin menjadi-jadi, debu-debu yang
ada di jalan berterbangan akibat ditiup angin yang sedang berhembus dari arah
Sungai Mahakam, beberapa pepohonan yang berada di tepian tanpa sengaja
menggugurkan daun-daun keringnya akibat terpaan angin yang menyejukkan.
Daffa dan Paman
akhirnya dapat lebih cepat pulang kerumah karena arus lalu-lintas di Jembatan
Mahakam tidak terlalu padat akibat peraturan pemerintah kota tentang pengalihan
arus lalu-lintas ke Samarinda Seberang melalui Jembatan Mahulu.
Sesampainya di
rumah, paman memanggil Daffa dengan ekspresi wajah yang sangat serius, Ia duduk
di teras rumah dan menyuruh Danera duduk disampingnya.
“Daffa, kemari
kesini”
“Iya, Paman. Ada
apa?
“Begini, tadi
siang sebelum paman menjemputmu, paman melihat kamu duduk dengan seorang gadis
di halte. Kalau boleh paman tahu dia siapa? Tanya Paman ingin tahu
“Dia itu namanya
Ayla, dia adik kelas Daffa di sekolah”
“Dia pacar kamu?
Kok Paman lihat sampai genggaman tangan gitu?
“Ohh,
nggak-nggak kok Paman, Daffa cuma temanan. Tadi dia kebetulan sedih jadi Daffa
genggam tangannya supaya dia merasa lebih tegar dan tenang” kata Daffa
meyakinkan
“Oke kalau
begitu, Paman hanya ingin mengingatkan, kan sebentar lagi kamu bakalan
mengikuti Ujian Nasional, sebaiknya kamu jangan melakukan hal-hal yang
membuatmu tidak fokus belajar apalagi kalau kamu berpacaran. Paman nggak mau
kalau nilai kamu kurang memuaskan, dan setelah UN kamu kan juga harus
mempersiapkan diri untuk mengikuti SNMPTN” ucap Paman
“Iya, Paman. Daffa
mengerti. Daffa berjanji akan mengurangi hal-hal yang mengganggu waktu dan
kefokusan belajar”
Daffa seketika
terdiam, ada rasa yang berpadu dan tercampur aduk di dalam hatinya. Ia menghela
nafas. Ada kelegaan ketika Paman dapat mengetahui isi hatinya dan memberikan
nasehat walaupun juga ada keterpaksaan di hati Daffa agar cenderung untuk
melepaskan. Melepaskan rasa yang belum terdefinisi kepada Ayla, apakah itu
cinta? Atau hanya sekedar rasa kagum yang muncul tiba-tiba dan sangat
berlebihan?
Daffa masuk dan
membuka pintu kamarnya lalu menutup pintu itu kembali dengan pelan, ia rebahkan
tubuhnya yang terlalu lelah setelah jogging siang tadi. Matanya menerawang
jauh, Daffa terdiam dan merenung memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan.
Haruskah waktu yang berputar memisahkan kita secara perlahan dan mestikah jarak
merenggangkan silaturahmi pertemuan kita?
Terkadang rasa
sayang, kagum dan peduli itu ada, tapi belum tentu orang lain juga dapat
merasakan perasaannya seperti apa yang kita rasakan sekarang,
Daffa mengambil
handphone BlackBerry yang berada diatas meja belajarnya, kemudian ia buka media
player dan daftar judul lagu pada kartu memori yang tersemat di dalam BlackBerry
miliknya tersebut lalu ia pilih mode pemutaran lagu dalam mode acak.
Tak lama terdengar
intro sebuah lagu yang terdengar mellow. Nada-nada yang keluar dari tuts-tuts piano yang
dimainkan serta suara gesekan dawai biola berpadu syahdu dengan suara khas dari
Petra Sihombing yang telah memenuhi ruang kamarnya, Dalam hati dan suasana yang
sunyi Daffa bernyanyi, menyanyikan lirik-lirik lagu yang berjudul Cinta Takkan
Kemana Mana. Hingga ketika lirik lagu tersebut berbunyi “Jika memang kita
ditakdirkan ‘tuk bersama selamanya cinta takkan kemana-mana”
Daffa kembali
terdiam sejenak, lirik tersebut sesuai dengan hal yang akan sedang dialaminya
saat ini. Matanya terlihat sayu, tatapannya mulai terlihat kosong, Ia mulai
memikirkan rencana untuk menuntut ilmu di pulau Jawa setamat dari SMA dan tentu
secara tidak langsung ia juga bakal berpisah dengan Ayla, jika itu terjadi
tentu banyak kenangan istimewa yang terlalu sulit dilupakan di tempat ini, di
kota tepian ini.
Kantuk dan rasa
lelah telah membuat Daffa menguap, kemudian ia terlelap dalam tidur siang yang
sungguh menenangkan. Terlelap dalam tidur dan bermimpi indah tentang perasaan
yang tak terdefinisi namun dapat sangat jelas dirasakan getar-getirnya.