Tok…Tok…Tok…Tok…Tok...Tok...
Hentakan
langkah suara sepatu pantofel yang bergesekan dengan
lantai koridor rumah sakit ini menimbulkan suara bising yang memecah
keheningan suasana pagi ini. Tetesan embun masih melekat pada daun-daun
pepohonan dan bunga yang terdapat di sepanjang koridor rumah sakit. Udara
dingin pun berhembus sejuk seolah dapat menenangkan pikiran sejenak.
“Dokter
Naufal” teriak perawat yang sedang berjalan di koridor
“Iya,
ada apa?”
“Dok
Jam 8 nanti ada pasien baru yang harus dikunjungi di ruang Merah Delima”
“Kamar
berapa?”
“167.
Lantai 2”
“Okee,
terima kasih atas infonya”
“Sama-sama
dokter”
Jarum jam tangan Naufal terus
berbunyi, sambil menyeruput segelas susu dan menikmati sarapan pagi di cafetaria
rumah sakit sebelum melaksanakan dinas pagi. tiba-tiba handphone-nya berdering karana Dika
sahabatnya menelepon
“Naufal,
minggu ini kalau nggak sibuk kita main futsal yuk”
“Okee, di tempat biasa kan?
Nanti aku beri kabar ya.”
“Iya, ditunggu kabarnya bro”
“Sip, makasih”
Jam mulai menunjukkan pukul
08.00 Naufal segera beranjak keluar dari cafetaria dan menuju lift di lobby
rumah sakit.
Sesampainya di lantai 2, Naufal
menuju ruang Merah Delima nomor 167. Beberapa perawat turut ikut mengantarkan
Naufal sambil membawa berkas-berkas rekam medis pasien
“Kamar
167, lantai 2 Ruang Merah Delima kan?” tanya Naufal pada perawat
“Iya
dok”
Sambil
membuka pintu Naufal masuk ke ruang rawat inap dan bertemu pasien wanita yang
terbaring lemah diatas ranjang.
“Selamat
pagi Ibu, bagaimana kabarnya hari ini?”
“Baik
dokter, tapi dada saya makin lama makin terasa sakit”
“Ibu
ada sesak nafas dan batuk-batuk?”
“Ada
dok, saya susah sekali bernafas dan batuk nya terasa berdahak”
“Sewaktu
ibu batuk berdahak apakah nyeri dada semakin terasa sakit?”
“Iya
dok, sangat sakit sekali sampai saya terus memegang dada karena tidak mampu
menahan rasa sakitnya”
“Baiklah
Ibu, untuk sementara saya kasih obat pereda nyeri untuk meminimalisasi rasa nyeri
pada dada saat ibu batuk”
Naufal keluar dari ruang rawat
inap dan mendatangi perawat sambil membaca rekam medis ibu tersebut, Ternyata
ibu tersebut sudah divonis kanker paru-paru 2 tahun yang lalu dan kini kanker
yang telah menggerogoti tubuhnya harus segera dilakukan tindakan operasi.
“Tolong persiapkan keperluan
buat operasi dan konsultasikan dengan dokter spesialis lain untuk tanggal
dilakukannya operasi tersebut” ujar Naufal
“Baik dokter” sahut perawat.
Naufal kembali berjalan keluar
ruang rawat inap ke koridor utama.Tak sengaja tiba-tiba dia bertemu dengan
sosok perempuan berkacamata dan berambut sebahu. Mereka saling bertatapan dan
terlihat berpikir akan sesuatu.
“Naufal!”
“Kamu Diandra kan?!”
“Iyaa hehe, wah keren ya kamu
sudah jadi dokter”
“Ah biasa aja kok haha, Sudah
berapa tahun ya kita tidak ketemu setelah lulus dari SMA?”
“Hmmm, sebentar aku hitung.
Sekitar 10 tahun yang lalu”
“Nggak terasa ya, bagaimana
kabarmu sekarang Diandra?”
“Baik,
“Oh, syukurlah, kamu ngapain ke
rumah sakit?”
“Ibuku dirawat disini, di ruang
Merah Delima nomor 167”
“Astaga, jadi itu ibu kamu? Tadi
aku baru saja memeriksa ibu kamu. Oh iya, tampaknya ibumu perlu segera
dioperasi. Beri tahu keluargamu ya”
“Iya itu ibuku, Secepat itu
harus dioperasi? Baiklah aku beri tahu keluargaku. Hmm aku jadi merasa cemas”
“Jangan terlalu cemas, semoga
ibumu dapat sembuh dari penyakitnya”
Mereka terus berjalan sampai di
ujung koridor rumah sakit ini dan duduk di ruang tunggu sambil terus mengobrol
santai
“Kamu ingat hari ini tanggal
berapa?” tanya Naufal
“Ingat dong, 16 Agustus kan?
Memangnya kenapa?” jawab Diandra
“Aku jadi ingat waktu kamu
dikukuhkan menjadi anggota paskibraka sewaktu SMA dulu”
“Jadi kamu masih ingat? Wah
berarti aku terkenang terus dong”
“Ya begitulah, aku masih ingat
kekecewaanku saat belum terpilih dulu padahal aku ingin sekali mengisi
kemerdekaan ini dengan menjadi anggota pasukan tersebut. Seandainya dulu aku terpilih
pastinya aku merasa senang dan bangga ketika dapat menjadi anggota pasukan 8”
“Astaga Naufal, semangat dong
jangan sedih gitu. Itu belum seberapa deh, ayo dong bangga, kan sekarang kamu sudah jadi pahlawan karena
pengabdianmu. Hmmm, Kamu masih ingat cerita sedih tentang cita-cita ku kan?”
“Memangnya apa ? Oh iya aku
ingat”
“Jadi gimana perasaanmu sekarang” tanya Naufal
“Sedih aja kalau diingat, dulu
kita kan sama-sama berjuang untuk masuk tes di Fakultas Kedokteran, tapi kamu
diterima dan aku nggak”
“Jangan sedih dong Diandra, sekarang kan kamu sudah jadi Kepala Seksi di
salag satu Bank milik pemerintah”
“Iyaa, makasih Fal. Ah kita lucu
banget ya, kita sama-sama menginginkan hal yang belum pantas untuk kita. Dulu aku
pengen jadi dokter dan dulu kamu pengen jadi anggota paskibraka”
“Iya, tapi biarlah itu semua
berlalu. Bukankah kita sudah bahagia dan bersyukur dengan kita yang sekarang?”
Tiba-tiba seorang perawat
menghampiri Naufal dan memberi tahu informasi kapan berlangsungnya operasi Ibu
Diandra. Diandra pun juga menyimak paparan tersebut dengan seksama bahwa
operasi akan dilakukan esok hari tanggal
17 Agustus 2013
“Serius Fal dilakukan besok?”
tanya Diandra serius
“Iya, sudah dikonsultasikan
dengan dokter spesialis lain dan perawat juga telah menyampaikan informasi
tersebut pada ibumu”
“Astaga, baiklah aku mau
menghampiri ibuku sekarang!!!”
***
“Ibu, semoga ibu cepat sembuh
ya, semoga operasi esok berjalan lancar dan ibu bisa sehat kembali. Diandra
pengen ibu seperti dulu lagi”
“Doakan ibu nak, agar operasi
nya berjalan lancar”
“Iya bu, Diandra pasti mendoakan
ibu, dokter yang mengoperasi ibu itu teman Diandra SMA dulu, dia pasti berusaha
maksimal dengan dokter lain agar operasi nya berlangsung sukses”
Diandra memeluk ibunya sambil
terharu. Ada tetesan air mata yang jatuh diantara keduanya, Namun, lekuk
senyuman juga tampak pada bibir keduanya.
Pintu ruang operasi dibuka, Ibu Diandra masuk ke ruangan tersebut.
Diandra tertunduk sedih sambil melihat ibunya yang akan dioperasi.
“Doakan yang terbaik buat ibumu
ya” ucap Naufal
“Ya, aku selalu berdoa yang
terbaik untuknya. Selamat bekerja dokter Naufal”
“Oke, ditunggu ya”
Pintu ruang operasi kembali
ditutup, Diandra duduk di ruang tunggu yang telah disediakan. Sambil berdoa
tiba-tiba ia terkejut melihat almarhum ayahnya yang telah meninggal dunia
beberapa tahun yang lalu.
“Ya Allah, lancarkanlah operasi
ibuku, sembuhkanlah dirinya dari penyakitnya. Berikanlah sesuatu yang terbaik
untuknya. Izinkan dia tersenyum kembali seperti dulu dan kehendakilah aku
untuk membahagiakannya. Aamiin” ujar Diandra berdoa
“Ayah!
Itu benar-benar Ayah?” Tanya Diandra penasaran
“Ayah,
aku kangen. Ayah ngapain kemari?”
Seketika bayangan yang
seolah-olah nyata itu hilang. Diandra semakin sedih, perlahan ia meneteskan air
mata. Tetesan air matanya mulai jatuh ke pipi kirinya kemudian jatuh kembali ke
pipi kanannya.
Diandra terus berdoa untuk
kesembuhan dan keselamatan ibunya, matanya mulai sembab dan tampak terlihat
merah. Ia lalu mengambil tisu dari tas yang dibawanya.
Satu jam setengah menit telah
berlalu, pintu ruang operasi terbuka dan beberapa perawat keluar dari ruang
tersebut. Diandra bergegas menghampiri kedua perawat tersebut.
“Gimana operasi nya mbak?” tanya
Diandra serius
“Maaf. operasinya masih
berlangsung, mungkin setengah jam lagi baru akan selesai. Kita berdoa untuk
yang terbaik” sahut salah satu perawat menjelaskan
Diandra kembali duduk di ruang
tunggu operasi. Bibirnya terus bergerak mengucap doa yang tak henti-hentinya ia
ucapkan di dalam hati.
Setengah jam berlalu. Naufal
keluar dari ruang operasi dengan melangkah masygul. Ada haru di tatapan matanya
yang terlihat oleh Diandra.
“Naufal, bagaimana keadaan
ibuku, baik-baik saja kan?”
“Diandra hmmm sebelumnya maaf kami
selaku tim dokter sudah berusaha maksimal untuk menangani operasi ibumu. Namun
Tuhan berkehendak lain, Dia sayang kepada ibumu sehingga inilah cara-Nya agar
rasa sakit yang diderita ibumu selama ini selesai”
“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuu” teriak
Diandra sambil meneteskan air mata
Diandra spontan memeluk Naufal,
dia terus meneteskan air mata untuk meluapkan emosi kesedihannya.
Handphone milik Naufal berbunyi,
ternyata sahabat nya Dika kembali menelepon untuk memastikan keikutsertaan
Naufal dalam pertandingan futsal. Diandra melepas pelukannya dari Naufal.
“Gimana, jadi ikut nggak ntar
sore?”
“Maaf Dik. aku belum bisa, aku
baru saja menyelesaikan operasi salah satu pasienku. Lain kali saja semoga ada
kesempatan lain ya”
“Oh begitu, sip deh. Tetap
semangat ya Naufal”
“Iya, terima kasih Dika”
Diandra masih tampak murung dan
sedih di ruang tunggu, Naufal kembali menghampirinya.
“Diandra. aku turut berduka, aku
mohon maaf sekali lagi karena aku merasa gagal saat ini. Kamu mau maafin aku
kan?”
Diandra tetap diam tanpa kata
dan tetesan air mata masih tetap berlinang di pipinya.
“Kamu marah sama aku?”
“Nggak, sekarang aku tegar dan
berusaha untuk ikhlas menghadapi kenyataan ini. Naufal terima kasih ya karena
kamu
telah berusaha dan berjuang kan? Kamu seharusnya bangga karena kamu mengabdi
pada kemanusiaan dan menjadi pelayan masyarakat”
“Kamu adalah pahlawan bangsa,
pahlawan kemanusiaan, dan pahlawan kesehatan, karena telah berusaha
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia”
“Banggalah Fal, ayo bangga terhadap hal yang kamu ceritakan padaku kemarin,
mungkin hal yang dulu kamu anggap bisa membanggakan dirimu belum bisa kamu
capai tapi sekarang kamu telah mencapainya. Kamu mengisi kemerdekaan ini dengan
sebuah pengabdian” ucap Diandra panjang lebar menjelaskan
“Terima
kasih Diandra atas nasehat dan sarannya. Syukurlah kini aku lebih mengerti”
“Sama-sama
Naufal sesama sahabat memang harus begitu”
Naufal
ikut terharu, ia kini tersadar karena ucapan Diandra tersebut. Ia kembali
bangga atas dirinya, akhirnya ia dapat mengisi kemerdekaan ini dengan kebanggan
atas sebuah pengabdian terhadap masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar