Kamis, 14 Februari 2013 0 komentar

Halte Lapangan Pemuda



Pagi ini suasana dingin sekali akibat hujan semalam yang berlanjut hingga waktu subuh tadi. Matahari masih belum tampak karena tertutup awan mendung. Daffa mengintip dari balik tirai jendela kamarnya dan tampak genangan air masih tersisa di halaman rumah paman. Titik-titik air juga masih terlihat jelas diujung daun pepohonan seperti enggan jatuh akibat gravitasi bumi. Daffa beranjak dari tempat tidur dan merapikannya kemudian menuju toilet untuk mencuci muka.
“Astaga sudah jam 7, bakal telat ke sekolah ini” Daffa bergumam dalam hati
            Daffa terburu-buru untuk mandi serta mengeluarkan sepatu dan seragam putih abu-abu dari lemarinya, bunyi lemari dan hempasan sepatu pun memecah keheningan pagi itu. Tak lupa ia berpamitan kepada paman dan menutup rapat pintu rumahnya.
            “Assalamualaikum paman, Daffa berangkat sekolah dulu”
            “Waalaikumsalam Daffa, cepatlah jangan sampai terlambat”
            Rumah paman berada di Samarinda Seberang. Perjalanan dari rumah paman sampai ke depan gang lumayan cukup jauh, Daffa  berlari-lari kecil sembari melihat jam di layar handphone-nya dan berharap agar tidak terlambat untuk sampai ke sekolah. Sesampainya di depan gang, ia berjalan kaki menuju Jembatan Mahakam yang tidak terlalu jauh dari depan gang rumah paman, Dilewatinya jalur pejalan kaki yang terletak di kanan badan jembatan, terlihat lalu-lintas di jembatan sudah mulai padat merayap, tampak pula ponton yang berlalu-lalang mengangkut kekayaan alam berupa batubara sedang melintas di Sungai Mahakam yang membelah kota kelahiran Daffa yakni Samarinda.
Sesampainya di ujung jembatan, Daffa menyeberang menuju Jalan Slamet Riyadi. angkutan kota trayek A yang berwarna hijau berhenti tepat di depannya tanpa diberikan isyarat untuk berhenti seolah sang sopir angkot sudah dapat membaca pikiran Daffa karena ingin menumpangi angkutan kota yang dikendarainya.
            “Bhayangkara”
            “Yo, tapi mutar dulu lewat Kampung Jawa”
            Daffa menganggukan kepala menyetujui ucapan pak sopir tersebut, kepalanya ia tundukkan untuk membawa badannya masuk mencari tempat duduk disamping jendela. Dibukanya jendela tersebut dan perlahan angkutan kota trayek A yang ditumpanginya mulai berjalan secara pelan.
            Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya walau masih tertutupi oleh awan putih, sinarnya tampak menyinari sisa-sisa embun yang masih menempel di kaca angkot itu.
            Tak berapa lama, tiba-tiba angkot yang ditumpanginya berhenti di depan Masjid Islamic Centre tampak gadis remaja berseragam SMA yang  berkacamata dan berambut sebahu memberi isyarat kepada pak sopir untuk memberhentikan angkot ini.
            “Bhayangkara pak”
            “Mutar dulu mbak lewat Kampung Jawa”
            “Nggak apa, pak”
            Gadis itu langsung menaiki angkot ini sambil menggendong tas ransel dan memegang tas laptop miliknya, Daffa mengernyitkan dahi dan tersadar ternyata gadis itu adalah adik kelasnya di SMA.
            Waktu berjalan begitu cepat, hiruk-pikuk dan kesibukan aktivitas warga ibukota provinsi Kalimantan Timur ini mulai berkembang pesat seperti kota-kota besar lain. Kemajuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi serta pertambahan jumlah transportasi pribadi juga mulai tak terelakkan di kota  ini. Dan angkot yang Daffa tumpangi terjebak kemacetan kecil di daerah Kampung Jawa akibat ukuran badan jalan yang sempit sedangkan volume kendaraan yang sangat padat.
            Walaupun kemacetan tidak terlalu parah tapi hal itu cukup mengesalkan hati Daffa saat berangkat ke sekolah. Terlihat pula wajah adik kelas itu yang mulai tampak gelisah sambil menatap jam tangan di lengannya.
            Akhirnya setelah kekesalan akibat kemacetan itu berlalu, angkot yang ditumpangi Daffa dan gadis itu mulai mendekati sekolah
            “Stoooop” ujar mereka berdua serempak
            Daffa dan gadis itu saling memandang dan tersenyum kecil karena kejadian itu, Ia persilakan adik kelasnya untuk turun lebih dulu lalu ia menyusul di belakangnya sambil membayar angkot yang ditumpanginya tadi. Daffa tergopoh-gopoh berlari ketika gerbang sekolah sudah  mulai hampir dikunci, diajaknya adik kelasnya untuk ikut berlari agar tidak terlalu telat saat memasuki gerbang sekolah
            “Ayo, cepat lari nanti gerbangnya keburu dikunci”
            “Mmmhhh, iya Kak”
            Sesampainya digerbang  mereka berdua ditahan oleh Pak Ari selaku waka kesiswaan karena kesalahan mereka yaitu terlambat ke sekolah. Mereka dan teman-teman lain yang terlambat berbaris di barisan khusus siswa yang terlambat sambil memberi penghormatan kepada bendera merah putih, setelah itu mereka diperintahkan untuk memungut sampah-sampah yang berserakan di halaman sekolah.
Jam menunjukkan pukul 10.15 dentang bunyi bel waktu istirahat pertama telah berbunyi, segera Daffa mengumpul lembar kertas ujian dan menyimpan buku serta alat-alat tulis yang digunakan saat ulangan Biologi tadi. Kemudian Daffa beranjak menuju kantin dan sesampainya disana ia memesan sepiring nasi goreng. Ketika menuju meja makan kantin Daffa terkaget ternyata adik kelas yang ditemuinya tadi pagi ada dihadapannya memberikan senyuman manis dan sapaan untuknya, Daffa pun membalas sapaan tersebut dengan senang hati.
Saat Daffa mulai menyuap sesendok nasi yang pertama seseorang menepuk pundaknya
“Hai, Daf kok tumben makan nggak ngajak-ngajak?” ucap Rifan mengagetkan 
“Daf, kamu melamun?” tanya Rifan lagi
“Oh, Hai Rifan, hmm maaf ya aku cuekin sesaat“
“Kamu kenapa? Aku perhatikan kok kamu menatap adik kelas yang berkacamata itu terus ya? Hayo ngaku deh”
“Mmmhh…. Nggak kok”
“Sudahlah mengaku saja Daffa, nggak ada yang perlu ditutupin kita kan sahabat, ayo dong cerita”
“Kamu tahu nggak dia kelas berapa?”
“Tenang bro, nanti aku akan cari informasi tentang dia, secepatnya deh aku kasih tahu ke kamu”
“Oke, makasih ya Fan kamu memang sahabat yang paling memahami”
“Hahaha ya begitulah sesama sahabat kan memang harus bisa memahami. Eh tapi beneran ya kamu suka sama dia?”
“Entahlah, rasa ini masih membingungkan”
Bel masuk telah berbunyi, sepiring nasi goreng yang Daffa pesan tadi masih belum habis disantap karena Rifan mengajaknya mengobrol sesaat. Ia teguk segelas es teh yang masih tersisa di meja kantin dan segera membayar nasi goreng yang ia pesan tadi.
Keesokan harinya, matahari bersinar terang dan cerah. Daffa berangkat sekolah seperti biasa dan lebih awal dari kemarin, di balik jendela angkot trayek A dia cari keberadaannya di depan Masjid Islamic Center tempat pertemuan pertama ia bertemu dengan adik kelas yang manis itu kemarin, tapi yang ditunggu dan dinantinya tak kunjung muncul terlihat. Daffa menghela nafas dan masih berharap bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak terduga.
“Masihkah aku dapat menatap wajahnya, mendengar suaranya, dan mengenalnya lebih dekat?” tanya Daffa di dalam hati
Angkutan kota berhenti tepat di depan sekolah, Daffa turun dan mengeluarkan selembar uang dua ribu rupiah kepada pak sopir kemudian dia melangkah pasti menuju gerbang sekolah, sesampainya di gerbang sekolah tak disangka adik kelas yang membuat Daffa jatuh hati kemarin berjalan didepannya. Tampak dia hampir teburu-buru menuju kelasnya dilantai 2 dan tanpa sengaja Daffa  mengetahui namanya yang tertera jelas di papan LJK saat dipegangnya, namanya Ayla Batrisya
Mata Daffa memang masih memperhatikan Ayla dari kejauhan, saat ia memasuki gerbang sekolah bersamanya, dan kedua bola mata Daffa belum bisa lepas memperhatikan Ayla dari kejauhan sampai dia hilang dari pandangannya
Pada akhirnya Daffa selalu diliputi rasa ingin tahu dan semakin memikirkan Ayla, Hati dan pikirannya mulai sinkron dalam meyakini sebuah perasaan, perasaan yang dapat membuatnya bahagia dan bangga ketika jatuh hati kepada Ayla. Tatkala rasa itu menggebu-gebu Daffa memperbincangkannya kepada sahabatnya Rifan.
“Fan, kayaknya aku jatuh hati deh sama Ayla”
“Hah, Ayla itu siapa?”
“Yang kemarin aku ceritakan itu loh, kamu ingat kan?”
“Oh, ya aku ingat, namanya Ayla ya? Bagus loh”
“Iya Fan, aku heran nih dan nggak tahu kenapa aku nggak bisa jauh dari dirinya, pokoknya aku selalu ingin tahu keadaanya, mungkin aku suka sama dia”
“Deketin dong, jangan cuma suka aja, tunjukkan kalau kamu memang benar-benar punya perasaan dan sayang sama dia”
“Tapi aku masih malu”
“Nggak perlu malu kalau kamu pengen belajar bagaimana caranya menyayangi orang yang kamu sukai dan kamu kagumi itu”
“Ya aku tahu itu, tapi aku belum berpengalaman dan agak grogi”
“Daffa, yakin dulu deh pada dirimu sendiri kamu pasti mampu, kamu harus optimis walaupun memang semua tergantung pada kehendak Tuhan dan dirinya.”
Sepulang sekolah Daffa tak langsung beranjak pulang, kewajiban untuk piket membersihkan kelas dengan teman-temannya harus dikerjakannya dengan baik. Setelah ruang kelas bersih Daffa mengambil tas nya keluar dari kelas. Di depan kelas Rifan menghampiri Daffa
“Bro, besok jogging yuk di Stadion Sempaja”
“Boleh juga, tapi aku izin dulu sama pamanku”
“Oke deh, telpon aja kalau jadi atau nggak”
“Sip”
Daffa keluar dari gerbang sekolah dan menyeberang menuju Lapangan Pemuda yang berada persis di depan SMA-nya. Lapangan itu terdiri dari 2 lapangan yaitu lapangan sepakbola dan lapangan basket, di kala sore banyak remaja yang memanfaatkannya untuk bermain bola atau berlatih bermain basket.
Dipinggir lapangan tersebut tumbuh hamparan pohon Angsana yang sangat rindang, pohon tersebut diperkirakan berusia puluhan tahun lebih, dibawahnya tampak juga jejeran tempat duduk yang disediakan oleh Pemerintah Kota untuk bersantai menikmati sejuknya udara di bawah pohon atau hanya memandang jalanan yang ramai dilalui kendaraan yang lewat. Disamping lapangan basket tampak pula penjaja makanan dan minuman yang banyak berjualan disana.
Daffa menuju kesana, aroma daging burger yang sedang dibuat oleh penjaja makanan disana tercium oleh indera penciumannya. Rasa lapar pun datang menghampirinya, membuat ia ingin membeli burger tersebut
“Pak, beli burgernya satu ya”
“Yang berapaan?”
“Yang 5000 pak”
            Selada dan timun ditaruh diatas daging burger, roti berbentuk lingkaran diangkat dari penggorengan menutup olesan mayonais dan sambal sehingga burger siap untuk dinikmati.
Daffa berjalan menuju halte yang tak jauh dari area penjaja makanan yang dia kunjungi tadi untuk menunggu angkot yang ingin ditumpanginya pulang. Halte itu berukuran kecil dan hampir tidak berfungsi maksimal sebagaimana fungsi utamanya. Daffa duduk sambil menikmati daging burger yang dibelinya, rasanya pedas, lidahnya terasa gatal dan wajahnya tampak sedikit berkeringat akibat olesan sambal di burger itu.
Tak disangka Ayla datang menuju halte tersebut, Daffa terkaget dan hampir salah tingkah ketika melihat Ayla berjalan ke arahnya, Ayla duduk di samping Daffa yang berjarak sekitar 4 jengkal dari tubuhnya sambil melepas headset dari telinga dan mencabut kabelnya dari iPod yang berada di saku seragamnya. Ayla melihat Daffa dan tiba-tiba Ayla bertanya.
            “Kak, kok mukanya merah dan keringatan gitu?” ucap Ayla dengan nada penasaran
            Daffa semakin gugup mendengar suara Ayla yang didengarnya merdu dan menurutnya mempunyai ciri khas itu, akan tetapi Daffa mencoba bersikap dingin. Ditanggapinya pertanyaan Ayla dengan santai
“Ini nih akibat makan burger, burgernya pedas banget makanya jadi keringatan gini” ucap Daffa santai
“Oh gitu, mau minum nggak kak? Ini aku ada minuman siapa tahu kakak mau kan kakak lagi kepedasan”
“Nggak usah, kakak sudah terbiasa kok makan makanan pedas gini, kalau sampe keringatan kayak gini ya biasalah”
“Oke deh, ya sudah minumannya aku minum sendiri”
Daffa diam tanpa kata, entahlah mengapa mungkin ada suatu rasa yang berbeda atau hanya kebetulan saja. Kemudian Daffa memberanikan diri untuk memulai sebuah percakapan baru
“Ayla, kamu nggak pulang? Naik angkot bareng yuk” tanya Daffa bersemangat
“Maaf, kak hari ini aku dijemput, lain kali saja ya” jawab Ayla santai
“Kemarin, kok kamu naik angkot?” tanya Daffa lagi dengan penasaran
“Kemarin kan aku terlambat bangun jadinya papa ninggalin aku duluan ke kantor karena ada promosi Sarung khas Samarinda terus mamaku sibuk ngurusin usaha Amplangnya. Jadi nggak ada yang nganterin”
“Oh jadi orang tua kamu punya usaha Amplang, wah enak tuh”
“Kak Daffa suka ngemil Amplang ya? Kapan-kapan bisa kok datang ke toko mamaku buat ngeliatin proses pembuatannya sambil nyicipin Amplang yang baru dibuat”
Belum sempat Daffa menjawab penawaran Ayla tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan halte
“Duluan ya kak, aku sudah dijemput” ucap Ayla
“Hati-hati ya” jawab Daffa pelan seakan tak mengikhlaskan Ayla dijemput pulang secepat ini.
Mobil itu segera berjalan meninggalkan halte tempat Ayla dan Daffa mengobrol singkat, aroma karbon monoksida masih tersisa di sekitar halte akibat buangan gas kimia dari knalpot mobil itu.
Daffa terbayang oleh materi ulangan Biologi kemarin dan berkata di dalam hati
“Semoga saja pohon Angsana disekitar sini masih berfotosintesis dengan menyerap gas karbon monoksida itu dan segera mengeluarkan gas oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup sepertiku”
Daffa memberhentikan angkot trayek A yang akan mengantarkannya ke Terminal Angkot Pasar Pagi, lalu ditumpanginya angkot  trayek G1 yang berwarna merah tua yang mengantarkannya ke rumah paman di Samarinda Seberang. Sesampainya di rumah Daffa minta izin kepada paman agar diperbolehkan jogging bareng Rifan di Stadion Sempaja besok.
“Paman, besok Daffa boleh nggak jogging bareng Rifan di Stadion Sempaja?” tanya Danera dengan penuh pengharapan”
“Boleh, asalkan ingat waktu. kan sebentar lagi kamu akan mengikuti ujian nasional jadi kamu harus banyak belajar agar bisa mendapat nilai yang memuaskan” ucap Paman
“Makasih, paman”
Daffa mengambil handphone BlackBerry dari saku celananya, dia cari nomor handphone Rifan dan segera meneleponnya
“Fan, aku jadi nih ikutan jogging. Kita janjian di depan pos satpam Stadion Sempaja ya”
“Hmm maaf Daf kita nggak usah ke Stadion Sempaja ya soalnya agak jauh, aku takut terjebak kemacetan. Rumahku kan di Sambutan, kamu juga tahu kan gimana suasana macetnya di Pasar Sungai Dama. Setelah aku pikir-pikir sepertinya lebih baik kalau kita jogging di Balaikota saja”
“Ya terserahmu lah, aku ikut kamu aja”
“Oke, janjian di samping TMP ya”
“Iya, aku tunggu”
Di samping Taman Makam Pahlawan, Rifan memarkir motornya. Rifan berjalan kaki menuju Balaikota yang tak jauh dari lokasi parkiran motornya. Hari minggu ini ternyata merupakan car free day.  Tampak beberapa orang bersepeda di jalanan yang biasanya dipenuhi dengan kendaraan sambil menikmati segarnya suasana di pagi hari. Pada saat menunggu Daffa yang akan datang, Rifan sibuk mengencangkan ikatan tali sepatu dan melakukan pemanasan ringan. Tak begitu lama akhirnya Daffa datang dan menghampirinya
“Lama nggak bro?” tanya Daffa
“Nggak juga kok, udah pemanasan belum?”tanya Rifan kembali
“Belum”
“Ya sudah pemanasan dulu deh”
Kesejukan hari Minggu pagi di Balaikota sangatlah menenangkan jiwa, hamparan pohon yang sangat rindang serta angin yang berhembus sepoi-sepoi menyegarkan raga. Cahaya matahari menyelinap dibalik daun-daun pohon yang rimbun menyinari jalan. Jalan Balaikota ini dipenuhi kerumunan manusia dari kalangan usia yang ingin berolahraga. Daffa dan Rifan mulai berlari-lari kecil mendaki tanjakan dan menuruni turunan di Balaikota tersebut selama beberapa kali putaran.
Keringat mulai mengucur di tubuh mereka, dengan nafas yang agak terengah-engah mereka sepakat untuk duduk beristirahat di bawah rimbunnya pohon. Ketika mereka sedang beristirahat sejenak ternyata Ayla juga sedang jogging di Balaikota. Daffa dengan spontan berteriak menyapanya.
“Ayla!!!”
Dengan hampir sedikit terkaget Ayla menoleh ke arah suara tersebut dan balik menyapa
“Eh Kak Daffa, lagi jogging juga ya”
“Iya nih, kamu sendirian aja?”
“Iya Kak, bareng yuk joggingnya”
“Oke deh, Rifan gabung juga yuk”
“Kak Rifan juga boleh ikut kok”
Mereka bertiga kembali berlari mengelilingi jalan Balaikota, kembali mendaki tanjakan dan menuruni turunan jalan tersebut hingga jam menunjukkan pukul 10.00
“Bro, aku pulang duluan ya. Soalnya udah hampir siang banget nih”
“Oke Fan, nggak apa. Makasih sudah ngajakin jogging”
“Hati-hati ya Kak Rifan” Ayla berucap
“Iya, Terima kasih” Rifan membalas
Kerumunan manusia yang tampak pada pagi hari tadi sudah hampir menghilang, mereka mulai meninggalkan jalan Balaikota untuk pulang, para penjual makanan dan minuman disekitarnya sudah berkemas memberesi barang dagangan yang mereka jual dari pagi.
Matahari sudah tampak sangat terang dan terasa menyengat kulit, Daffa mengajak Ayla untuk pulang bersama dengan menumpangi angkot. Setelah Daffa mengatakan keinginannya, ternyata papa Ayla menelepon Ayla dan ingin menjemput di tempat biasa seperti saat menjemput Ayla ketika pulang sekolah. Kemudian mereka memberhentikan angkot trayek C yang berwarna biru untuk menuju tempat yang diinginkan papa untuk menjemput Ayla
“Lapangan Pemuda” ucap Daffa kepada sopir angkot C
Angkot C yang ditumpangi mereka mulai berjalan. Jarak antara Balaikota dan Lapangan Pemuda sebenarnya tidak terlalu jauh, sehingga tidak sampai 5 menit mereka turun dari angkot tersebut dan menuju Halte Lapangan Pemuda
“Makasih ya Kak sudah menemani Ayla jogging hari ini” ujar Ayla sambil duduk di halte
“Mmmmmhh, iya. Kakak juga makasih udah ditemani juga” sahut Daffa dengan memberikan senyuman manis kepada Ayla
Ayla tertunduk, tatapan matanya sayu seperti ada rasa sedih yang menghampiri dirinya secara tiba-tiba
“Kamu kenapa Ayla? Kok seperti sedih gitu, semangat dong!”
“Nggak apa kok Kak”
“Serius nggak apa? Kalau kamu bilang seperti itu sebenarnya pasti ada sesuatu yang mengganjal di hatimu dan kamu males untuk menceritakannya”
“Loh kok Kak Daffa tahu?”
“Sudah pengalaman sih hahahaha. Ayo dong cerita, ada apa?”
“Ayla sedih aja, soalnya bentar lagi kan Kak Daffa lulus dari SMA terus pasti lanjut kuliah keluar kota. Nanti Ayla bakalan kangen sama Kak Daffa”
Daffa terdiam, ada rasa yang tak biasa muncul menghampirinya. Entahlah ini nyata atau hanya kebetulan saja.
“Kakak juga pasti bakalan kangen sama kamu Ayla. kita memang baru beberapa minggu kenal tapi kakak merasa bahwa kamu adalah adik kelas yang paling berkesan di hati kakak” ungkap Daffa
“Maksud Kak Daffa?” Tanya Ayla penasaran
“Ya begitulah”
Mata mereka saling bertatapan tanpa berkedip sekalipun, ditariknya jemari Ayla dan digenggamnya secara perlahan, kemudian senyum diantara mereka merekah mewarnai rona wajah dua remaja yang sedang dilanda sebuah rasa, rasa yang tak dapat terdefinisi oleh kata-kata dan hanya dapat dimengerti dengan sebuah perasaan.
Daffa memberanikan diri untuk berkata sesuatu. Namun terlambat, bunyi klakson dari mobil papa Ayla mengagetkan mereka. Genggaman tangan mereka dengan terpaksa terlepaskan, hanya senyuman saja yang tampak pada bibir manis Ayla tanpa sepatah kata pamit ketika pergi meninggalkan Daffa di halte tersebut. Ayla membuka pintu mobil tersebut dan segera masuk kedalamnya, kemudian mobil berwarna hitam itu langsung tancap gas pergi meninggalkan Daffa di Halte Lapangan Pemuda.
Rasa sedih bercampur dengan rasa kesal. ingin marah tapi kepada siapa? Papa Ayla? Terlalu lucu untuk harus marah dan terlalu berlebihan jika harus kecewa.
Daffa beranjak meninggalkan halte, ketika ia ingin pulang untuk memberhentikan angkot tak disangka Paman lewat dan berhenti dihadapannya
“Loh, Daffa kok ada disini?
“Tadi nggak sengaja singgah”
“Pulang sekarang ya, Nih dipakai helmnya”
“Iya, Paman”
Panasnya terik matahari di siang hari ini semakin lama semakin menjadi-jadi, debu-debu yang ada di jalan berterbangan akibat ditiup angin yang sedang berhembus dari arah Sungai Mahakam, beberapa pepohonan yang berada di tepian tanpa sengaja menggugurkan daun-daun keringnya akibat terpaan angin yang menyejukkan.
Daffa dan Paman akhirnya dapat lebih cepat pulang kerumah karena arus lalu-lintas di Jembatan Mahakam tidak terlalu padat akibat peraturan pemerintah kota tentang pengalihan arus lalu-lintas ke Samarinda Seberang melalui Jembatan Mahulu.
Sesampainya di rumah, paman memanggil Daffa dengan ekspresi wajah yang sangat serius, Ia duduk di teras rumah dan menyuruh Danera duduk disampingnya.
“Daffa, kemari kesini”
“Iya, Paman. Ada apa?
“Begini, tadi siang sebelum paman menjemputmu, paman melihat kamu duduk dengan seorang gadis di halte. Kalau boleh paman tahu dia siapa? Tanya Paman ingin tahu
“Dia itu namanya Ayla, dia adik kelas Daffa di sekolah”
“Dia pacar kamu? Kok Paman lihat sampai genggaman tangan gitu?
“Ohh, nggak-nggak kok Paman, Daffa cuma temanan. Tadi dia kebetulan sedih jadi Daffa genggam tangannya supaya dia merasa lebih tegar dan tenang” kata Daffa meyakinkan
“Oke kalau begitu, Paman hanya ingin mengingatkan, kan sebentar lagi kamu bakalan mengikuti Ujian Nasional, sebaiknya kamu jangan melakukan hal-hal yang membuatmu tidak fokus belajar apalagi kalau kamu berpacaran. Paman nggak mau kalau nilai kamu kurang memuaskan, dan setelah UN kamu kan juga harus mempersiapkan diri untuk mengikuti SNMPTN” ucap Paman
“Iya, Paman. Daffa mengerti. Daffa berjanji akan mengurangi hal-hal yang mengganggu waktu dan kefokusan belajar”
Daffa seketika terdiam, ada rasa yang berpadu dan tercampur aduk di dalam hatinya. Ia menghela nafas. Ada kelegaan ketika Paman dapat mengetahui isi hatinya dan memberikan nasehat walaupun juga ada keterpaksaan di hati Daffa agar cenderung untuk melepaskan. Melepaskan rasa yang belum terdefinisi kepada Ayla, apakah itu cinta? Atau hanya sekedar rasa kagum yang muncul tiba-tiba dan sangat berlebihan?
Daffa masuk dan membuka pintu kamarnya lalu menutup pintu itu kembali dengan pelan, ia rebahkan tubuhnya yang terlalu lelah setelah jogging siang tadi. Matanya menerawang jauh, Daffa terdiam dan merenung memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan. Haruskah waktu yang berputar memisahkan kita secara perlahan dan mestikah jarak merenggangkan silaturahmi pertemuan kita?
Terkadang rasa sayang, kagum dan peduli itu ada, tapi belum tentu orang lain juga dapat merasakan perasaannya seperti apa yang kita rasakan sekarang,
Daffa mengambil handphone BlackBerry yang berada diatas meja belajarnya, kemudian ia buka media player dan daftar judul lagu pada kartu memori yang tersemat di dalam BlackBerry miliknya tersebut lalu ia pilih mode pemutaran lagu dalam mode acak.
Tak lama terdengar intro sebuah lagu yang terdengar mellow. Nada-nada  yang keluar dari tuts-tuts piano yang dimainkan serta suara gesekan dawai biola berpadu syahdu dengan suara khas dari Petra Sihombing yang telah memenuhi ruang kamarnya, Dalam hati dan suasana yang sunyi Daffa bernyanyi, menyanyikan lirik-lirik lagu yang berjudul Cinta Takkan Kemana Mana. Hingga ketika lirik lagu tersebut berbunyi “Jika memang kita ditakdirkan ‘tuk bersama selamanya cinta takkan kemana-mana”
Daffa kembali terdiam sejenak, lirik tersebut sesuai dengan hal yang akan sedang dialaminya saat ini. Matanya terlihat sayu, tatapannya mulai terlihat kosong, Ia mulai memikirkan rencana untuk menuntut ilmu di pulau Jawa setamat dari SMA dan tentu secara tidak langsung ia juga bakal berpisah dengan Ayla, jika itu terjadi tentu banyak kenangan istimewa yang terlalu sulit dilupakan di tempat ini, di kota tepian ini.
Kantuk dan rasa lelah telah membuat Daffa menguap, kemudian ia terlelap dalam tidur siang yang sungguh menenangkan. Terlelap dalam tidur dan bermimpi indah tentang perasaan yang tak terdefinisi namun dapat sangat jelas dirasakan getar-getirnya.


 
;