Selasa, 24 September 2013

Pantofel Dokter



Tok…Tok…Tok…Tok…Tok...Tok...
                Hentakan langkah suara sepatu pantofel yang bergesekan dengan lantai koridor rumah sakit ini menimbulkan suara bising yang memecah keheningan suasana pagi ini. Tetesan embun masih melekat pada daun-daun pepohonan dan bunga yang terdapat di sepanjang koridor rumah sakit. Udara dingin pun berhembus sejuk seolah dapat menenangkan pikiran sejenak.
                “Dokter Naufal” teriak perawat yang sedang berjalan di koridor
                “Iya, ada apa?”
                “Dok Jam 8 nanti ada pasien baru yang harus dikunjungi di ruang Merah Delima”
                “Kamar berapa?”
                “167. Lantai 2”
                “Okee, terima kasih atas infonya”
                “Sama-sama dokter”
                Jarum jam tangan Naufal terus berbunyi, sambil menyeruput segelas susu dan menikmati sarapan pagi di cafetaria rumah sakit sebelum melaksanakan dinas pagi.  tiba-tiba handphone-nya berdering karana Dika sahabatnya menelepon
                “Naufal, minggu ini kalau nggak sibuk kita main futsal yuk”
                “Okee, di tempat biasa kan? Nanti aku beri kabar ya.”
                “Iya, ditunggu kabarnya bro”
                “Sip, makasih”
                Jam mulai menunjukkan pukul 08.00 Naufal segera beranjak keluar dari cafetaria dan menuju lift di lobby rumah sakit.
                Sesampainya di lantai 2, Naufal menuju ruang Merah Delima nomor 167. Beberapa perawat turut ikut mengantarkan Naufal sambil membawa berkas-berkas rekam medis pasien
                “Kamar 167, lantai 2 Ruang Merah Delima kan?” tanya Naufal pada perawat
                “Iya dok”
                Sambil membuka pintu Naufal masuk ke ruang rawat inap dan bertemu pasien wanita yang terbaring lemah diatas ranjang.
                “Selamat pagi Ibu, bagaimana kabarnya hari ini?”
                “Baik dokter, tapi dada saya makin lama makin terasa sakit”
                “Ibu ada sesak nafas dan batuk-batuk?”
                “Ada dok, saya susah sekali bernafas dan batuk nya terasa berdahak”
                “Sewaktu ibu batuk berdahak apakah nyeri dada semakin terasa sakit?”
                “Iya dok, sangat sakit sekali sampai saya terus memegang dada karena tidak mampu menahan rasa sakitnya”
                “Baiklah Ibu, untuk sementara saya kasih obat pereda nyeri untuk meminimalisasi rasa nyeri pada dada saat ibu batuk”
                Naufal keluar dari ruang rawat inap dan mendatangi perawat sambil membaca rekam medis ibu tersebut, Ternyata ibu tersebut sudah divonis kanker paru-paru 2 tahun yang lalu dan kini kanker yang telah menggerogoti tubuhnya harus segera dilakukan tindakan operasi.
                “Tolong persiapkan keperluan buat operasi dan konsultasikan dengan dokter spesialis lain untuk tanggal dilakukannya operasi tersebut” ujar Naufal
                “Baik dokter” sahut perawat.
                Naufal kembali berjalan keluar ruang rawat inap ke koridor utama.Tak sengaja tiba-tiba dia bertemu dengan sosok perempuan berkacamata dan berambut sebahu. Mereka saling bertatapan dan terlihat berpikir akan sesuatu.
                “Naufal!”
                “Kamu Diandra kan?!”
                “Iyaa hehe, wah keren ya kamu sudah jadi dokter”
                “Ah biasa aja kok haha, Sudah berapa tahun ya kita tidak ketemu setelah lulus dari SMA?”
                “Hmmm, sebentar aku hitung. Sekitar 10 tahun yang lalu”
                “Nggak terasa ya, bagaimana kabarmu sekarang Diandra?”
                “Baik,
                “Oh, syukurlah, kamu ngapain ke rumah sakit?”
                “Ibuku dirawat disini, di ruang Merah Delima nomor 167”
                “Astaga, jadi itu ibu kamu? Tadi aku baru saja memeriksa ibu kamu. Oh iya, tampaknya ibumu perlu segera dioperasi. Beri tahu keluargamu ya”
                “Iya itu ibuku, Secepat itu harus dioperasi? Baiklah aku beri tahu keluargaku. Hmm aku jadi merasa cemas”
                “Jangan terlalu cemas, semoga ibumu dapat sembuh dari penyakitnya”
                Mereka terus berjalan sampai di ujung koridor rumah sakit ini dan duduk di ruang tunggu sambil terus mengobrol santai
                “Kamu ingat hari ini tanggal berapa?” tanya Naufal
                “Ingat dong, 16 Agustus kan? Memangnya kenapa?” jawab Diandra
                “Aku jadi ingat waktu kamu dikukuhkan menjadi anggota paskibraka sewaktu SMA dulu”
                “Jadi kamu masih ingat? Wah berarti aku terkenang terus dong”
                “Ya begitulah, aku masih ingat kekecewaanku saat belum terpilih dulu padahal aku ingin sekali mengisi kemerdekaan ini dengan menjadi anggota pasukan tersebut. Seandainya dulu aku terpilih pastinya aku merasa senang dan bangga ketika dapat menjadi anggota pasukan 8”
                “Astaga Naufal, semangat dong jangan sedih gitu. Itu belum seberapa deh, ayo dong bangga,  kan sekarang kamu sudah jadi pahlawan karena pengabdianmu. Hmmm, Kamu masih ingat cerita sedih tentang cita-cita ku kan?”
                “Memangnya apa ? Oh iya aku ingat”
“Jadi gimana perasaanmu sekarang” tanya Naufal
                “Sedih aja kalau diingat, dulu kita kan sama-sama berjuang untuk masuk tes di Fakultas Kedokteran, tapi kamu diterima dan aku nggak”
                “Jangan sedih dong Diandra,  sekarang kan kamu sudah jadi Kepala Seksi di salag satu Bank milik pemerintah”
                “Iyaa, makasih Fal. Ah kita lucu banget ya, kita sama-sama menginginkan hal yang belum pantas untuk kita. Dulu aku pengen jadi dokter dan dulu kamu pengen jadi anggota paskibraka”
                “Iya, tapi biarlah itu semua berlalu. Bukankah kita sudah bahagia dan bersyukur dengan kita yang sekarang?”
                Tiba-tiba seorang perawat menghampiri Naufal dan memberi tahu informasi kapan berlangsungnya operasi Ibu Diandra. Diandra pun juga menyimak paparan tersebut dengan seksama bahwa operasi  akan dilakukan esok hari tanggal 17 Agustus 2013
                “Serius Fal dilakukan besok?” tanya Diandra serius
                “Iya, sudah dikonsultasikan dengan dokter spesialis lain dan perawat juga telah menyampaikan informasi tersebut pada ibumu”
                “Astaga, baiklah aku mau menghampiri ibuku sekarang!!!”
***
                “Ibu, semoga ibu cepat sembuh ya, semoga operasi esok berjalan lancar dan ibu bisa sehat kembali. Diandra pengen ibu seperti dulu lagi”
                “Doakan ibu nak, agar operasi nya berjalan lancar”
                “Iya bu, Diandra pasti mendoakan ibu, dokter yang mengoperasi ibu itu teman Diandra SMA dulu, dia pasti berusaha maksimal dengan dokter lain agar operasi nya berlangsung sukses”
                Diandra memeluk ibunya sambil terharu. Ada tetesan air mata yang jatuh diantara keduanya, Namun, lekuk senyuman juga tampak pada bibir keduanya.
Pintu ruang operasi dibuka, Ibu Diandra masuk ke ruangan tersebut. Diandra tertunduk sedih sambil melihat ibunya yang akan dioperasi.
                “Doakan yang terbaik buat ibumu ya” ucap Naufal
                “Ya, aku selalu berdoa yang terbaik untuknya. Selamat bekerja dokter Naufal”
                “Oke, ditunggu ya”
                Pintu ruang operasi kembali ditutup, Diandra duduk di ruang tunggu yang telah disediakan. Sambil berdoa tiba-tiba ia terkejut melihat almarhum ayahnya yang telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
                “Ya Allah, lancarkanlah operasi ibuku, sembuhkanlah dirinya dari penyakitnya. Berikanlah sesuatu yang terbaik untuknya. Izinkan dia tersenyum kembali seperti dulu dan kehendakilah aku untuk membahagiakannya. Aamiin” ujar Diandra berdoa
                “Ayah! Itu benar-benar Ayah?” Tanya Diandra penasaran
                “Ayah, aku kangen. Ayah ngapain kemari?”
                Seketika bayangan yang seolah-olah nyata itu hilang. Diandra semakin sedih, perlahan ia meneteskan air mata. Tetesan air matanya mulai jatuh ke pipi kirinya kemudian jatuh kembali ke pipi kanannya.
                Diandra terus berdoa untuk kesembuhan dan keselamatan ibunya, matanya mulai sembab dan tampak terlihat merah. Ia lalu mengambil tisu dari tas yang dibawanya.
                Satu jam setengah menit telah berlalu, pintu ruang operasi terbuka dan beberapa perawat keluar dari ruang tersebut. Diandra bergegas menghampiri kedua perawat tersebut.
                “Gimana operasi nya mbak?” tanya Diandra serius
                “Maaf. operasinya masih berlangsung, mungkin setengah jam lagi baru akan selesai. Kita berdoa untuk yang terbaik” sahut salah satu perawat menjelaskan
                Diandra kembali duduk di ruang tunggu operasi. Bibirnya terus bergerak mengucap doa yang tak henti-hentinya ia ucapkan di dalam hati.
                Setengah jam berlalu. Naufal keluar dari ruang operasi dengan melangkah masygul. Ada haru di tatapan matanya yang terlihat oleh Diandra.
                “Naufal, bagaimana keadaan ibuku, baik-baik saja kan?”
                “Diandra hmmm sebelumnya maaf kami selaku tim dokter sudah berusaha maksimal untuk menangani operasi ibumu. Namun Tuhan berkehendak lain, Dia sayang kepada ibumu sehingga inilah cara-Nya agar rasa sakit yang diderita ibumu selama ini selesai”
                “Ibuuuuuuuuuuuuuuuuu” teriak Diandra sambil meneteskan air mata
                Diandra spontan memeluk Naufal, dia terus meneteskan air mata untuk meluapkan emosi kesedihannya.
                Handphone milik Naufal berbunyi, ternyata sahabat nya Dika kembali menelepon untuk memastikan keikutsertaan Naufal dalam pertandingan futsal. Diandra melepas pelukannya dari Naufal.
                “Gimana, jadi ikut nggak ntar sore?”
                “Maaf Dik. aku belum bisa, aku baru saja menyelesaikan operasi salah satu pasienku. Lain kali saja semoga ada kesempatan lain ya”
                “Oh begitu, sip deh. Tetap semangat ya Naufal”
                “Iya, terima kasih Dika”
                Diandra masih tampak murung dan sedih di ruang tunggu, Naufal kembali menghampirinya.
                “Diandra. aku turut berduka, aku mohon maaf sekali lagi karena aku merasa gagal saat ini. Kamu mau maafin aku kan?”
                Diandra tetap diam tanpa kata dan tetesan air mata masih tetap berlinang di pipinya.     
                “Kamu marah sama aku?”
                “Nggak, sekarang aku tegar dan berusaha untuk ikhlas menghadapi kenyataan ini. Naufal terima kasih ya karena kamu telah berusaha dan berjuang kan? Kamu seharusnya bangga karena kamu mengabdi pada kemanusiaan dan menjadi pelayan masyarakat
Kamu adalah pahlawan bangsa, pahlawan kemanusiaan, dan pahlawan kesehatan, karena telah berusaha meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia”
Banggalah Fal, ayo bangga terhadap hal yang kamu ceritakan padaku kemarin, mungkin hal yang dulu kamu anggap bisa membanggakan dirimu belum bisa kamu capai tapi sekarang kamu telah mencapainya. Kamu mengisi kemerdekaan ini dengan sebuah pengabdian” ucap Diandra panjang lebar menjelaskan
“Terima kasih Diandra atas nasehat dan sarannya. Syukurlah kini aku lebih mengerti”
“Sama-sama Naufal sesama sahabat memang harus begitu”
Naufal ikut terharu, ia kini tersadar karena ucapan Diandra tersebut. Ia kembali bangga atas dirinya, akhirnya ia dapat mengisi kemerdekaan ini dengan kebanggan atas sebuah pengabdian terhadap masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;